Perizinan Penggunaan Genset Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2009
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat.
3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik.
5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.
6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen.
7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan,
transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik.
10. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
11. Izin operasi adalah izin untuk melakukan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah sebagai tempat badan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik
melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.
13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain
yang terdapat di atas tanah tersebut.
14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah
tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
15. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan ketenagalistrikan.
18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik yang berbadan hukum
maupun yang bukan berbadan hukum.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas:
a. manfaat;
b. efisiensi berkeadilan;
c. berkelanjutan;
d. optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi;
e. mengandalkan pada kemampuan sendiri;
f. kaidah usaha yang sehat;
g. keamanan dan keselamatan;
h. kelestarian fungsi lingkungan; dan
i. otonomi daerah.
(2) Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
BAB III
PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
Bagian Kesatu Penguasaan
Pasal 3
(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah.
(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Bagian Kedua
Pengusahaan
Pasal 4
(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(2) Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
a. kelompok masyarakat tidak mampu;
b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang;
c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
d. pembangunan listrik perdesaan.
BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN
Pasal 5
(1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan meliputi:
a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;
b. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan;
c. penetapan pedoman, standar, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan;
d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen;
e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
f. penetapan wilayah usaha;
g. penetapan izin jual beli tenaga listrik lintas negara;
h. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang:
1. wilayah usahanya lintas provinsi;
2. dilakukan oleh badan usaha milik negara; dan
3. menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah;
i. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas provinsi;
j. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Pemerintah;
k. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik
yang ditetapkan oleh Pemerintah;
l. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah;
m. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya
dimiliki oleh penanam modal asing;
n. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan
milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah;
o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah;
p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;
q. pembinaan jabatan fungsional inspektur ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan
r. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah
(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang ketenagalistrikan meliputi:
a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang ketenagalistrikan;
b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah provinsi;
c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya lintas kabupaten/kota;
d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota;
e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau
menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
g. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
h. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
i. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
j. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi; dan
k. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang ketenagalistrikan meliputi:
a. penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang ketenagalistrikan;
b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan daerah kabupaten/kota;
c. penetapan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya dalam kabupaten/kota;
d. penetapan izin operasi yang fasilitas instalasinya dalam kabupaten/kota;
e. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
f. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau
menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
g. penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri;
h. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
i. penetapan izin pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
j. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
k. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk kabupaten/kota; dan
l. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
BAB V
PEMANFAATAN SUMBER ENERGI PRIMER
Pasal 6
(1) Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan
kebijakan energi nasional untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan.
(2) Pemanfaatan sumber energi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan.
(3) Pemanfaatan sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk kepentingan ketenagalistrikan nasional.
BAB VI
RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN
Pasal 7
(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan pada kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah.
(3) Rencana umum ketenagalistrikan daerah disusun berdasarkan pada rencana umum ketenagalistrikan nasional dan ditetapkan oleh pemerintah daerah
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(4) Pedoman penyusunan rencana umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
BAB VII
USAHA KETENAGALISTRIKAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 8
Usaha ketenagalistrikan terdiri atas:
a. usaha penyediaan tenaga listrik; dan
b. usaha penunjang tenaga listrik. Bagian Kedua Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Pasal 9
Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Pasal 10
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
d. penjualan tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha
(4) Pembatasan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum
yang hanya meliputi distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik.
(5) Wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 11
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
(3) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi kesempatan
kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
(4) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut,
Pemerintah wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik.
Pasal 12
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik; atau
c. pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik.
Pasal 13
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Usaha Penunjang Tenaga Listrik
Pasal 15
Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b terdiri atas:
a. usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan
b. usaha industri penunjang tenaga listrik.
Pasal 16
(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
a. konsultansi dalam bidang instalasi penyediaan tenaga listrik;
b. pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik;
c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;
d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;
e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;
f. penelitian dan pengembangan;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; atau
k. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b meliputi:
a. usaha industri peralatan tenaga listrik; dan/atau
b. usaha industri pemanfaat tenaga listrik.
(2) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi.
(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha industri penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4) Kegiatan usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VIII
PERIZINAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 18
Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha. Bagian Kedua Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan Izin Operasi
Pasal 19
(1) Izin usaha untuk menyediakan tenaga listrik terdiri atas:
a. Izin usaha penyediaan tenaga listrik; dan
b.Izin operasi.
(2) Setiap orang yang menyelenggarakan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik.
Pasal 20
Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a ditetapkan sesuai dengan jenis usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Pasal 21
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.
Pasal 22
Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan.
(3) Pemegang izin operasi dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik
Pasal 25
(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan Pasal 16 ayat (2) dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dan izin usaha industri penunjang tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Pasal 27
(1) Untuk kepentingan umum, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:
a. melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan;
b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;
c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah;
f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.
(2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib:
a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;
b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat;
c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 29
(1) Konsumen berhak untuk:
a. mendapat pelayanan yang baik;
b. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;
d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan
e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh
pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
(2) Konsumen wajib:
a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;
c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;
d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
e. menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
(3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
PENGGUNAAN TANAH
Pasal 30
(1) Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah.
(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat bagian-bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(6) Dalam hal tanah yang digunakan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat.
Pasal 31
Kewajiban untuk memberi ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) tidak berlaku terhadap setiap orang yang sengaja mendirikan bangunan, menanam tanaman, dan lain-lain di atas tanah yang sudah memiliki izin lokasi untuk usaha penyediaan tenaga listrik dan sudah diberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi.
Pasal 32
(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan kepada pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. BAB X HARGA JUAL, SEWA JARINGAN, DAN TARIF TENAGA LISTRIK Bagian Kesatu Harga Jual Tenaga Listrik dan Sewa Jaringan Tenaga Listrik
Pasal 33
(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat.
(2) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.
(3) Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik tanpa persetujuan Pemerintah atau pemerintah daerah.
Bagian Kedua
Tarif Tenaga Listrik
Pasal 34
(1) Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat menetapkan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk daerah tersebut dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik.
(5) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
Pasal 35
Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jual Beli Tenaga Listrik Lintas Negara
Pasal 37
Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik berdasarkan izin Pemerintah.
Pasal 38
Jual beli tenaga listrik lintas negara dapat dilakukan melalui pembelian atau penjualan tenaga listrik.
Pasal 39
Pembelian tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan dengan syarat:
a. belum terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik setempat;
b. hanya sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan tenaga listrik setempat;
c. tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa yang terkait dengan kedaulatan, keamanan, dan pembangunan ekonomi;
d. untuk meningkatkan mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat;
e. tidak mengabaikan pengembangan kemampuan penyediaan tenaga listrik dalam negeri; dan
f. tidak menimbulkan ketergantungan pengadaan tenaga listrik dari luar negeri.
Pasal 40
Penjualan tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan apabila:
a. kebutuhan tenaga listrik setempat dan wilayah sekitarnya telah terpenuhi;
b. harga jual tenaga listrik tidak mengandung subsidi; dan
c. tidak mengganggu mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik setempat
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai jual beli tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
LINGKUNGAN HIDUP DAN KETEKNIKAN
Bagian Kesatu
Lingkungan Hidup
Pasal 42
Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup. Bagian Kedua Keteknikan
Pasal 43
Keteknikan ketenagalistrikan terdiri atas: a. keselamatan ketenagalistrikan; dan b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika.
Pasal 44
(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.
(2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi:
a. andal dan aman bagi instalasi;
b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan
c. ramah lingkungan.
(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan
c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.
(4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi.
(5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.
(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi.
(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik jaringan.
(3) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan jaringan yang diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 46
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal:
a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik;
b. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;
c. pemenuhan persyaratan keteknikan;
d. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;
e. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
f. penggunaan tenaga kerja asing;
g. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik;
h. pemenuhan persyaratan perizinan;
i. penerapan tarif tenaga listrik; dan
j. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang tenaga listrik.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat:
a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan;
c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan
d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan perizinan.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 47
(1) Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagalistrikan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untu